ekspresi muka

Senin, 01 September 2014

Bicara Tentang Orang Pendiam dan Bukan Pendiam

Bicara Tentang Orang Pendiam dan Bukan Pendiam, Aku: Bisa Saja Sama Busuknya


Ilustrasi /Kompasiana (eharmony.com)
Ilustrasi /Kompasiana (eharmony.com)
Daya imajinasi saya tidak begitu tinggi, itulah mengapa saya sering menulis sesuai dengan apa yang saya temui di kenyataan. Kali ini, saya kembali menulis berangkat dari pengalaman saya, pastinya ini adalah sebuah kenyataan..
Selamat membaca…
Dulu aku merasa bahwa tidak ada yang namanya kemunafikan selagi kita masih merasa kita makhluk ber-Tuhan atau paling tidak ber-agama. Ternyata aku salah besar. Aku berbicara tentang fakta dan realita yang sudah aku temui dalam hidup dan lebih pentingnya lagi aku merasakannya sendiri. Banyak yang bilang bahwa orang pendiam itu adalah orang-orang yang diam menusuk, munafik, banyak busuknya, harus ekstra dicurigai, dan tidak pantas untuk diberikan kepercayaan. Saya banyak menemukan ‘oknum-oknum’ yang menuliskan hal senada tentang ‘buruk’nya kelompok orang-orang yang pendiam itu.
Dalam ilmu Psikologi, selalu ditekankan bahwa setiap individu itu adalah makhluk ciptaan Tuhan yang unik. Kepribadian setiap orang itu berbeda, itulah mengapa perlu tenggang-rasa, toleransi, rasa menghargai, empati dan rasa kekeluargaan di dunia. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan manusia dengan diversitasnya masing-masing. Tidak perlu menjadi pengamat sosial, peneliti, atau guru besar untuk menyadari bahwa setiap orang itu berbeda baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi, psikologis, fisiologis, financial, dan sebagainya. Dalam ilmu psikologi ada dikenal kepribadian introvert dan ekstrovert, sederhananya bisa dikatakan orang introvert itu yang pendiam sedangkan orang ekstrovert itu adalah pribadi yang ekspresif. Kita akan menemukan lebih beragam lagi tipikal manusia ditinjau dari aspek yang berbeda.
Ketika kita berbeda dengan orang lain, hal yang terpenting itu adalah bagaimana menghargai. Perbedaan bukanlah sebuah dosa, kesalahan, aib, atau hal yang memalukan, lantas mengapa harus men-judge mereka yang berbeda dengan kita? Dalam praktek masyarakat yang multikultur, tentu tidak asing dengan istilah stereotype. Sayangnya, stereotype atau pelabelan terhadap sekelompok orang ini sering dengan menggunakan konotasi yang negative dan itu sungguh tidak baik.
Saya tidak tahu apakah pernyataan yang akan saya bahas selanjutnya ini sudah pantas disebut stereotype atau tidak. Saya cukup aktif bersosialisasi di media sosial. Akhir-akhir ini saya menemukan beberapa posting-an yang mengangkat tema tentang orang pendiam. Sebagi media sosial paling popular, facebook dan twitter adalah spot dimana saya banyak menemukan posting-an tersebut. Bahkan ketika seorang tweep menge-tweet tentang buruknya orang pendiam, ada saja tweep yang lain yang me-retweet. Sepahaman saya, seseorang yang me-like status di facebook sederhananya bisa dikatakan bahwa dia setuju dengan posting-an tersebut, demikian juga yang melakukan retweet di twitter. Kalo tidak suka dan tidak setuju, seyogianya ya memberikan komentar bukan justru like dan retweet, atau juga share. Sesederhana itu melakukan analisanya (kecuali ya para likers, saya angkat tangan deh).
Beberapa pernyataan tersebut kurang lebih mengatakan bahwa “tidak baik menjadi pendiam, sebab orang-orang akan menganggap Anda buruk dan tukang menusuk dari belakang.” Kalau saya boleh membantah pernyataan ini, saya akan mengatakan, “orang pendiam dan bukan pendiam bisa saja sama busuknya.”
Bagaimana dengan pernyataan ini, ”Hati-hati dengan orang pendiam, karena justru orang yang selama ini diam-diam, itu yang akan menusuk Anda dari belakang.”
Jika pernyataan di atas benar maka jangan terkejut jika suatu hari orang/teman/sahabat Anda yang selama ini pendiam akhirnya menusuk Anda dari belakang. Karena itu adalah PENGGENAPAN atas asumsi Anda terhadap orang pendiam bukan? Berarti yang kamu pikirkan selama ini benar dong.
Sigmun Freud sang bapak Psikologi mencetuskan teori defense mechanism (mekanisme pertahan diri). Sama halnya dengan hewan yang melakukan hibernasi selama musim dingin sebagai pertahanan diri, atau cicak yang memutuskan ekornya ketika ditangkap musuh, maka kita sebagai manusia juga melakukannya. Tujuannya? Ya sesuai istilahnya, untuk mempertahankan diri. Ketika gagal dalam ujian, tentu kita tidak ingin semakin menyalahkan diri dan berlarut-larut, maka tak jarang sebagian dari kita menghibur diri dengan melakukan self-talk, “ah, dosennya aja yang pelit kasih nilai.” Ada banyak sekali jenis dari mekanisme pertahanan diri yang dicetuskan bapak Freud beserta istilah psikologinya. Namun, kita tidak sedang membahas teori.
Dengan mengacu pada konsep mekanisme pertahanan diri, tidak salah jika pada akhirnya saya berpikiran bahwa:
- Tersenyum manis berlebihan-mu itu adalah mekanisme pertahanan diri. Dengan demikian, saya akan menganggap kamu manis dan tidak akan beranggapan buruk tentang kamu.
- Tertawa ngakak berlebihan-mu itu juga mekanisme pertahan diri, sehingga saya merasa bahwa kamu bahagia saat bermain dengan kami.
- Mengumbar-umbar kesedihan di sosial media, seperti dikhianati teman, disakiti teman, dijauhi teman, ditinggalkan teman, tidak dimengerti teman, kecewa karena teman, itu juga mekanisme pertahanan diri. Dengan demikian, orang-orang lain (bahkan orang yang pernah kamu ‘campakkan’) akan simpatik dan kasihan kepadamu, menganggap teman-temanmu buruk, kejam, tega, dan tidak berperasaan.
Mengapa saya harus memberikan 3 (tiga) poin seperti di atas? Tentu ada alasannya juga. Jika seorang pendiam dalam diam-nya dia katanya penuh dengan kemunafikan, maka lewat poin di atas saya hendak menyampaikan bahwa tak hanya orang pendiam, bahkan seseorang baik teman, sahabat, atau bukan siapa-siapanya Anda yang bukan pendiam juga mungkin menjadi seorang yang munafik dan menusuk, bahkan tidak pantas untuk Anda percayai. Bacalah kembali ke-tiga poin di atas. Dengan amat sangat menyesal saya katakan bahwa semua kalimat tersebut saya rangkai dengan merenungkan sebuah persahabatan yang sedang terombang-ambing.
Setelah Anda yang diberikan label munafik oleh sahabat Anda sendiri karena Anda adalah seorang pendiam dan kebetulan sedang ada masalah dalam pertemanan/persahabatan Anda, kemudian dia meragukan arti sebuah persahabatan itu. Bayangkan bagaimana seorang yang Anda anggap sahabat (dalam bahasa Inggris disebut bestfriend yang artinya teman terbaik) memaki-maki esensi dari persahabatan itu sendiri. Dan dia melakukannya di belakang. Maksudnya? Di depan Anda dia baik-baik saja, seperti poin di atas dia tersenyum manis kok, tertawa terbahak-bahak dengan Anda ketika hang-out bersama. Namun, di belakang Anda dia mencela-cela arti dari sebuah hubungan itu sendiri. Apa yang Anda pikirkan ketika seorang yang adalah sahabat Anda atau paling tidak teman Anda (dan kalian sama-sama menyadarinya) mengeluarkan pernyataan memuakkan seperti ini:
“Tidak ada yang namanya sahabat. Tidak ada yang namanya teman”
Padahal jelas-jelas Anda adalah sahabat atau teman dari yang membuat posting­-an tersebut. Bayangkan ribuan mata yang membaca itu dan tahu bahwa Anda adalah sahabat atau temannya, bisa diprediksi juga bahwa mereka akan beranggapan buruk tentang Anda. Mengapa? Oke saya buat ilustrasinya, Ani bersahabat selama 3 tahun dengan Bella. Semua orang di kampusnya tahu mereka sahabat akrab, sering belajar sama, ribut sama, belanja sama, hang-out sama, dan duduknya di ruangan kelas itu selalu berdekatan. Bahkan saat dosen sedang memberikan ceramah, mereka sering ketawa-ketiwi bareng dan menggosip. Kemudian suatu hari, Cika melihat Ani dan Bella sedang nonton bareng di bioskop dan mereka itu tampak akrab banget. Dan malamnya, ketika membuka facebook Cika mendapati status dari Ani yang bunyinya, “friendship is bullshit. There’s no real friends in the world, all is bullshit!” Bisa kita bayangkan, pasti saat itu Cika akan berpikiran dan menduga-duga, “hayo Ani kenapa ya? Pasti Bella udah nyakitin dia. Gak nyangka ternyata Bella itu jahat dan kejam ya. Masak sama teman sendiri tega ya….”
Jujur saya tidak pernah membayangkan suatu keadaan buruk dan memprihatinkan seperti ini. Ternyata dunia ini memang kejam dan penuh dengan lika-liku yang sulit untuk dimengerti. Jika seseorang yang pendiam dan selalu diam-diam pada akhirnya menusuk Anda dari belakang itu disebut manusia munafik dan tidak layak untuk dipercayai, lantas bagaimana dengan orang yang bukan pendiam yang selalu tersenyum manis terhadap Anda, tertawa terbahak-bahak saat bahagia dengan Anda, namun di belakang Anda dia menghina-hina Anda dan mencela persahabatan kalian, bukankah itu jauh lebih munafik??
Bicara tentang munafik, sedikit banyak, tetap saja munafik. Orang yang cukup munafik, agak munafik, munafik, sangat munafik, dan paling munafik, tetap saja disebut munafik. Sama halnya dengan dosa, sedikit banyak, kecil besar, dosa ya tetap dosa.
Setiap kita memiliki kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan, yang kita perlukan hanyalah sikap menghargai atas perbedaan kita. Bukan memberikan judge seenak jidat. Orang pendiam men-judge yang bukan pendiam dan yang bukan pendiam men-judge si pendiam. Kalau seperti itu terus menerus, kacau-balaulah dunia ini.
Tulisan ini adalah sebagai lanjutan dari puisi Berakhirnya Sebuah Persahabatan.
Catatan: Banyak yang bilang saya orang pendiam, padahal di rumah saya  yang tidak pernah diam dan termasuk cerewet. Namun, aku memang cukup segan bersosialisasi dengan orang banyak. Padahal aku adalah tipikal cewek yang kritis menanggapi suatu masalah hanya saja aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan isi pikiranku.  Seseorang pernah mengajarkan aku untuk berani berbicara dan bersikap dewasa. Namun, sebagai seorang perempuan, aku juga diajarkan untuk tahu situasi, kapan waktunya bicara dan kapan waktunya mendengarkan. Aku berani bicara sekarang bukan karena membuncahnya emosiku yang tertanam cukup lama ketika aku masih banyak diam. Tapi, karena waktu dan situasi mendewasakan aku dalam berpikir, merasa, dan bertutur kata. Terima kasih.