Bicara Tentang Orang Pendiam dan Bukan Pendiam, Aku: Bisa Saja Sama Busuknya
Daya
imajinasi saya tidak begitu tinggi, itulah mengapa saya sering menulis
sesuai dengan apa yang saya temui di kenyataan. Kali ini, saya kembali
menulis berangkat dari pengalaman saya, pastinya ini adalah sebuah
kenyataan..
Selamat membaca…
Dulu
aku merasa bahwa tidak ada yang namanya kemunafikan selagi kita masih
merasa kita makhluk ber-Tuhan atau paling tidak ber-agama. Ternyata aku
salah besar. Aku berbicara tentang fakta dan realita yang sudah aku
temui dalam hidup dan lebih pentingnya lagi aku merasakannya sendiri. Banyak
yang bilang bahwa orang pendiam itu adalah orang-orang yang diam
menusuk, munafik, banyak busuknya, harus ekstra dicurigai, dan tidak
pantas untuk diberikan kepercayaan. Saya banyak menemukan ‘oknum-oknum’ yang menuliskan hal senada tentang ‘buruk’nya kelompok orang-orang yang pendiam itu.
Dalam
ilmu Psikologi, selalu ditekankan bahwa setiap individu itu adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang unik. Kepribadian setiap orang itu berbeda,
itulah mengapa perlu tenggang-rasa, toleransi, rasa menghargai, empati
dan rasa kekeluargaan di dunia. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan
manusia dengan diversitasnya masing-masing. Tidak perlu menjadi pengamat
sosial, peneliti, atau guru besar untuk menyadari bahwa setiap orang
itu berbeda baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi, psikologis,
fisiologis, financial, dan sebagainya. Dalam ilmu psikologi ada dikenal
kepribadian introvert dan ekstrovert, sederhananya bisa dikatakan orang introvert itu yang pendiam sedangkan orang ekstrovert itu adalah pribadi yang ekspresif. Kita akan menemukan lebih beragam lagi tipikal manusia ditinjau dari aspek yang berbeda.
Ketika
kita berbeda dengan orang lain, hal yang terpenting itu adalah
bagaimana menghargai. Perbedaan bukanlah sebuah dosa, kesalahan, aib,
atau hal yang memalukan, lantas mengapa harus men-judge mereka yang berbeda dengan kita? Dalam praktek masyarakat yang multikultur, tentu tidak asing dengan istilah stereotype. Sayangnya, stereotype atau pelabelan terhadap sekelompok orang ini sering dengan menggunakan konotasi yang negative dan itu sungguh tidak baik.
Saya tidak tahu apakah pernyataan yang akan saya bahas selanjutnya ini sudah pantas disebut stereotype atau tidak. Saya cukup aktif bersosialisasi di media sosial. Akhir-akhir ini saya menemukan beberapa posting-an yang mengangkat tema tentang orang pendiam. Sebagi media sosial paling popular, facebook dan twitter adalah spot dimana saya banyak menemukan posting-an tersebut. Bahkan ketika seorang tweep menge-tweet tentang buruknya orang pendiam, ada saja tweep yang lain yang me-retweet. Sepahaman saya, seseorang yang me-like status di facebook sederhananya bisa dikatakan bahwa dia setuju dengan posting-an tersebut, demikian juga yang melakukan retweet di twitter. Kalo tidak suka dan tidak setuju, seyogianya ya memberikan komentar bukan justru like dan retweet, atau juga share. Sesederhana itu melakukan analisanya (kecuali ya para likers, saya angkat tangan deh).
Beberapa
pernyataan tersebut kurang lebih mengatakan bahwa “tidak baik menjadi
pendiam, sebab orang-orang akan menganggap Anda buruk dan tukang menusuk
dari belakang.” Kalau saya boleh membantah pernyataan ini, saya akan
mengatakan, “orang pendiam dan bukan pendiam bisa saja sama busuknya.”
Bagaimana dengan pernyataan ini, ”Hati-hati dengan orang pendiam, karena justru orang yang selama ini diam-diam, itu yang akan menusuk Anda dari belakang.”
Jika pernyataan di atas benar maka jangan terkejut jika suatu hari orang/teman/sahabat Anda yang selama ini pendiam akhirnya menusuk Anda dari belakang. Karena itu adalah PENGGENAPAN atas asumsi Anda terhadap orang pendiam bukan? Berarti yang kamu pikirkan selama ini benar dong.
Sigmun Freud sang bapak Psikologi mencetuskan teori defense mechanism (mekanisme
pertahan diri). Sama halnya dengan hewan yang melakukan hibernasi
selama musim dingin sebagai pertahanan diri, atau cicak yang memutuskan
ekornya ketika ditangkap musuh, maka kita sebagai manusia juga
melakukannya. Tujuannya? Ya sesuai istilahnya, untuk mempertahankan
diri. Ketika gagal dalam ujian, tentu kita tidak ingin semakin
menyalahkan diri dan berlarut-larut, maka tak jarang sebagian dari kita
menghibur diri dengan melakukan self-talk, “ah, dosennya aja yang pelit kasih nilai.”
Ada banyak sekali jenis dari mekanisme pertahanan diri yang dicetuskan
bapak Freud beserta istilah psikologinya. Namun, kita tidak sedang
membahas teori.
Dengan mengacu pada konsep mekanisme pertahanan diri, tidak salah jika pada akhirnya saya berpikiran bahwa:
- Tersenyum
manis berlebihan-mu itu adalah mekanisme pertahanan diri. Dengan
demikian, saya akan menganggap kamu manis dan tidak akan beranggapan
buruk tentang kamu.
- Tertawa ngakak berlebihan-mu itu juga mekanisme pertahan diri, sehingga saya merasa bahwa kamu bahagia saat bermain dengan kami.
- Mengumbar-umbar
kesedihan di sosial media, seperti dikhianati teman, disakiti teman,
dijauhi teman, ditinggalkan teman, tidak dimengerti teman, kecewa karena
teman, itu juga mekanisme pertahanan diri. Dengan demikian, orang-orang
lain (bahkan orang yang pernah kamu ‘campakkan’) akan simpatik dan
kasihan kepadamu, menganggap teman-temanmu buruk, kejam, tega, dan tidak
berperasaan.
Mengapa
saya harus memberikan 3 (tiga) poin seperti di atas? Tentu ada
alasannya juga. Jika seorang pendiam dalam diam-nya dia katanya penuh
dengan kemunafikan, maka lewat poin di atas saya hendak menyampaikan
bahwa tak hanya orang pendiam, bahkan seseorang baik teman, sahabat,
atau bukan siapa-siapanya Anda yang bukan pendiam
juga mungkin menjadi seorang yang munafik dan menusuk, bahkan tidak
pantas untuk Anda percayai. Bacalah kembali ke-tiga poin di atas. Dengan
amat sangat menyesal saya katakan bahwa semua kalimat tersebut saya
rangkai dengan merenungkan sebuah persahabatan yang sedang
terombang-ambing.
Setelah
Anda yang diberikan label munafik oleh sahabat Anda sendiri karena Anda
adalah seorang pendiam dan kebetulan sedang ada masalah dalam
pertemanan/persahabatan Anda, kemudian dia meragukan arti sebuah
persahabatan itu. Bayangkan bagaimana seorang yang Anda anggap sahabat
(dalam bahasa Inggris disebut bestfriend yang artinya teman terbaik) memaki-maki esensi dari persahabatan itu sendiri. Dan dia melakukannya di belakang.
Maksudnya? Di depan Anda dia baik-baik saja, seperti poin di atas dia
tersenyum manis kok, tertawa terbahak-bahak dengan Anda ketika hang-out bersama. Namun, di belakang Anda dia mencela-cela arti dari sebuah hubungan itu sendiri. Apa yang Anda pikirkan ketika seorang yang adalah sahabat Anda atau paling tidak teman Anda (dan kalian sama-sama menyadarinya) mengeluarkan pernyataan memuakkan seperti ini:
“Tidak ada yang namanya sahabat. Tidak ada yang namanya teman”
Padahal jelas-jelas Anda adalah sahabat atau teman dari yang membuat posting-an
tersebut. Bayangkan ribuan mata yang membaca itu dan tahu bahwa Anda
adalah sahabat atau temannya, bisa diprediksi juga bahwa mereka akan
beranggapan buruk tentang Anda. Mengapa? Oke saya buat ilustrasinya, Ani
bersahabat selama 3 tahun dengan Bella. Semua orang di kampusnya tahu
mereka sahabat akrab, sering belajar sama, ribut sama, belanja sama, hang-out
sama, dan duduknya di ruangan kelas itu selalu berdekatan. Bahkan saat
dosen sedang memberikan ceramah, mereka sering ketawa-ketiwi bareng dan
menggosip. Kemudian suatu hari, Cika melihat Ani dan Bella sedang nonton
bareng di bioskop dan mereka itu tampak akrab banget. Dan malamnya,
ketika membuka facebook Cika mendapati status dari Ani yang bunyinya, “friendship is bullshit. There’s no real friends in the world, all is bullshit!” Bisa kita bayangkan, pasti saat itu Cika akan berpikiran dan menduga-duga, “hayo
Ani kenapa ya? Pasti Bella udah nyakitin dia. Gak nyangka ternyata
Bella itu jahat dan kejam ya. Masak sama teman sendiri tega ya….”
Jujur
saya tidak pernah membayangkan suatu keadaan buruk dan memprihatinkan
seperti ini. Ternyata dunia ini memang kejam dan penuh dengan lika-liku
yang sulit untuk dimengerti. Jika seseorang yang pendiam dan selalu
diam-diam pada akhirnya menusuk Anda dari belakang itu disebut manusia
munafik dan tidak layak untuk dipercayai, lantas bagaimana dengan orang
yang bukan pendiam yang selalu tersenyum manis terhadap Anda, tertawa
terbahak-bahak saat bahagia dengan Anda, namun di belakang Anda dia
menghina-hina Anda dan mencela persahabatan kalian, bukankah itu jauh
lebih munafik??
Bicara
tentang munafik, sedikit banyak, tetap saja munafik. Orang yang cukup
munafik, agak munafik, munafik, sangat munafik, dan paling munafik,
tetap saja disebut munafik. Sama halnya dengan dosa, sedikit banyak,
kecil besar, dosa ya tetap dosa.
Setiap
kita memiliki kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan, yang
kita perlukan hanyalah sikap menghargai atas perbedaan kita. Bukan
memberikan judge seenak jidat. Orang pendiam men-judge yang bukan pendiam dan yang bukan pendiam men-judge si pendiam. Kalau seperti itu terus menerus, kacau-balaulah dunia ini.
Tulisan ini adalah sebagai lanjutan dari puisi Berakhirnya Sebuah Persahabatan.
Catatan:
Banyak yang bilang saya orang pendiam, padahal di rumah saya yang tidak pernah diam dan termasuk cerewet. Namun, aku memang
cukup segan bersosialisasi dengan orang banyak. Padahal aku adalah
tipikal cewek yang kritis menanggapi suatu masalah hanya saja aku tidak
memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan isi pikiranku. Seseorang pernah
mengajarkan aku untuk berani berbicara dan bersikap dewasa. Namun,
sebagai seorang perempuan, aku juga diajarkan untuk tahu situasi, kapan
waktunya bicara dan kapan waktunya mendengarkan. Aku berani bicara
sekarang bukan karena membuncahnya emosiku yang tertanam cukup lama
ketika aku masih banyak diam. Tapi, karena waktu dan situasi
mendewasakan aku dalam berpikir, merasa, dan bertutur kata. Terima
kasih.